Sejarah Desa

Suku Dayak Kenyah Lepo’ Bakung, yang sekarang mendiami desa Long Metun merupakan ujung perjalanan panjang yang ditempuh oleh nenek moyang dalam upaya ekspansi dan mencari penghidupan. Dari beberapa literatur, dan fakta linguistik dari asal usul nama “apau kayan”. Suku Kenyah masuk dan bermukim di wilayah apau kayan datang dari semenanjung serawak Malaysia setelah terlebih dahulu suku kayan bermukim di wilayah tersebut. Dimana suku Kayan telah bermigrasi ke wilayah pesisir mengikuti hilir sungai Kayan, ke daerah Mahakam Hulu, dan sebagian balik lagi Malaysia.  Maka oleh sebab itu penamaan “apau kayan” sebagai dataran tinggi pegunungan yang saat ini menjadi daerah difenitif dari empat kecamatan (Kayan Hilir, Kayan Hulu, Kayan Selatan, dan Sungai Boh) berasal dari asal kata Apau yang berarti dataran tinggi dan Kayan yang berarti nama suku yang melekat menjadi nama sungai besar yang mengaliri dataran tinggi tersebut.

Suku Dayak Kenyah bermigrasi dari daratan Serawak Malaysia, bermukim di Apau Da’a, sebuah dataran besar yang berada di hulu Sungai Iwan (perbatasan Indonesia-Malaysia), disini bermukim berbagai sub-suku kenyah. Dari Apau Da’a perpindahan meluas ke beberapa tempat secara bekelompok. Suku Kenyah bakung bermigrasi menyisir masuk ke dataran Apau Kayan mengikuti jalur perpindahan suku kayan dengan menyisir aliran Sungai Iwan ke hilir sampai ke Sungai Kayan dan bermukim di Long Metun sampai sekarang. Sementara yang lainnya bermigrasi ke hilir mengikuti sungai pujungan yang bermuara ke sungai bahau, kelompok kenyah bakung inilah yang saat ini bermukim di Sungai Lurah Pujungan.

Dalam beberapa periode perpindahan, dan pada saat masyarakat masih menganut kepercayaan Bungan Malan. Dimana segala sesuatu dalam pengambilan keputusan melalui proses ritual, melihat tanda alam, dan ditambah dengan ekspansi antar suku-tradisi ngayau (penggal kepala) yang mengharuskan setiap suku memiliki intuisi yang bertahan melindungi kelompoknya. Sebagaian kecil masyarakat desa Long Metun memilih pindah dengan menyisir ke hilir sungai kayan, bermukim di Long Puk (cabang kanan mudik sungai Kayan) menyeberangi punggung gunung hingga bergabung lagi dengan kelompok suku kenyah bakung yang bermukim di Sungai Lurah.

Long Metun berasal dari kata long yang berarti muara sungai, aliran sungai. Dan metun yang dalam bahasa kenyah berarti bersih, atau kawasan yang sering dilewati silih berganti oleh orang, bisa karena subur untuk berladang dan berburu.  Secara diskriptif berarti kawasan aliran sungai dan wilayah yang bersih karena sudah silih berganti di datangi. Merupakan salah satu dari lima desa di Kecamatan Kayan Hilir terbentuk pada tahun 60-an. Pada saat itu masih bernaung di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Perpindahan penduduk sekala kecil terus berlangsung di desa karena kondisi dan tekanan hidup yang kian sulit. Beberapa masyarakat memilih pindah mendekati akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan ke arah Tanjung Selor dan Malaysia.

 Dalam rentang waktu tahun 1960-1970 terjadi perpecahan di desa Long Metun menjadi 2 kelompok. Dimana satu kelompok memilih tetap tinggal dan menetap di wilayah pemukiman desa Long Metun dan satu kelompok lain memilih pindah ke bagian hulu sungai Long Metun. Tepatnya di Sungai Anai, cabang kanan mudik sungai Metun. Inilah cikal-bakan terbentuknya desa Sai Anai. Hal-hal yang melatar belakangi perpecahan penduduk menjadi dua wilayah pemukiman yang berbeda ini adalah tanda-tanda alam, seperti pada saat itu terjadi kebakaran pada rumah panjang akibat petir. Tanda-tanda dan fonemena alam seperti hewan elang, ular, dsb yang menurut kepercayaan pada saat itu adalah pertanda buruk dan yang dipercayai mengancam kehidupan.

Di zaman orde baru munculah sebuah program resetelment penduduk yang mendorong perpindahan dalam skala besar di desa Long Metun. Tepatnya di tahun 1982-1983, dengan dukungan pemerintah berupa bahan BBM untuk mesin ketinting, dan pemikiran lokal bahwa di daerah baru kehidupan akan lebih baik. Masyarakat Long Metun meninggalkan desanya menuju hilir sungai kayan selama berbulan-bulan hingga akhirnya menetap di Desa Mejun Sajau, tidak jauh dari kota Tanjong Selor sekarang. Pada saat itu hanya beberapa penduduk saja yang memilih bertahan tinggal menetap di desa long Metun saat ini. Rumah-rumah panjang ditinggal begitu saja tanpa penghuni. Menurut penuturan dari Laden Apui, salah satu generasi suku kenyah bakung yang tidak memilih pindah ke Tanjung Selor, kondisi kampung Long Metun saat itu sangat sunyi sekali, 10 rumah panjang yang ada di Long Metun saat itu hanya dihuni oleh anjing-anjing kurus yang ditinggal tuannya. Beliau bersama orang tua dan beberapa kolega lainnnya memilih tidak meninggalkan desa Long Metun karena ada saudara yang masih bekerja di Malaysia. Merasa kasihan ketika saudara tersebut datang dan mendapati kampung sudah tidak berpenghuni. Terlebih saat itu tidak memungkinkan untuk berkomunikasi jarak jauh seperti sekarang.

Bagikan post ini: